BERITA: KONSEP, NILAI DAN PENILAIANNYA

0 komentar
Nilai berita, dan penilaian berita hanya dapat diujikan jika dan pada saat berita telah dikumpulkan. Potensi berita ada di mana-mana. Ia terhampar, menunggu untuk dilaporkan. Untuk mengumpulkan informasi ini, reporter perlu mengetahui apa yang tengah terjadi, dan di mana terjadi.
Helbert, mengutip Tunstall (1971) mengatakan bahwa arus berita (dengan mana dia maksud adalah pengumupulan berita) laiknya arus komunikasi, seperti jaringan telepon dan transportasi. Ini benar adanya, sebagai contoh, dahulu Amerika Utara dan Eropa, adalah jalur padat arus berita dan percakapan telepon. Tentu saja sekarang ada arus padat komunikasi internet ke seluruh dunia juga muncul. Fakta-fakta menyediakan sumber-sumber utama bagi berita langsung (hardnews): skor, tanggal, jumlah korban jiwa, hasil perhitungan suara, jumlah uang digelontorkan atau yang dirampok, hasil-hasil pertandingan olah raga, dll. Sumber lain bagi berita faktual datang dari para sumber berita (the news makers), orang-orang yang dikutip dalam berita. Mereka menyediakan ucapan untuk kutipan. Jadi fakta menyediakan satu cerita, satu kutipan tentang fakta menyediakan dua berita sekaligus.
Anthony Smith (1979) mengatakan bukanlah hal kebetulan saja bahwa jurnalistik berbicara soal nilai berita, nilai dari sesuatu ditetapkan di pasar oleh para pembeli dan penjualnya, banyak di antaranya yang jauh lebih kaya dari lainnya. Ia mengatakan:

” Nilai dari seorang jurnalist terletak pada tekanan terus menerus di tengah masyarakat yang dilayaninya; ada ketegangan antara keberadaannya sebagai seorang pencipta yang bebas dan kreatif dan lingkungan di mana ia bekerja. Ia memiliki atonomi yang khusus; namun demikian tantangannya senantiasa bersumber dari pesaingan yang permanen dan tak terhindarkan.”
Selama bertahun-tahun, terutama sejak tahun 1950-an, telah muncul sejumlah konsep tentang pers, jurnalisme dan berita. Gagasan yang beragam ini telah berkembang dan coba memahami jurnalisme dan menempatkannya dalam beragam ideologi, baik di dunia barat maupun dunia non-barat. Model-model yang ada cenderung bercampur antara prescriptive dan descriptive konsep (cara lain untuk menggambarkan ini adalah normative/reflective). Gagasan di balik hampir semua teori tentang pers dan tentang berita mencerminkan sistem politik yang dianut masyarakat di mana pers beroperasi. Teori juga cenderung dikembangkan oleh para akademikus daripada para praktisi di wilayah ini, dengan demikian mereka lebih banyak mengeritik pers dan jurnalisme dari pada teori yang dapat ditransfer untuk aplikasi praktis para jurnalist untuk mengembangkan kemampuan dan kinerja mereka. Karenanya, yang ada adalah studi tentang (of) jurnalisme dan media dan bukannya studi di dalam (in) jurnalisme atau media.
Teori dasar pers bermula di Amerika Serikat dengan diterbitkannya karya Siebert, Peterson dan Schramm, "The Four Teories of the Press" pada tahun 1956. Teori ini mengatakan bahwa pers senantiasa mengambil bentuk dan coraknya dari struktur sosial politik di mana pers beroperasi. Pandangan bahwa perbedaan sistem media didasari pada perbedaan sistem politik juga menjadi bagian dari lima konsep Hatchen mengenai pers. (Hatchen, 1981). Merir (1995) menambahkan pers tidak hanya mencerminkan ideologi suatu sistem di mana ia berfunsi, tetapi juga mendukungnya dan tidka dapat lebih luas dari batasan-batasan sistem. Akibatnya, kategori utama untuk sistematisasi telah membedakan pandangan politik masyarakat terhadap hubungan pemerintah dan pers, dan ini sering mengakibatkan kekaburan antara ”prinsip-prinsip yang benar-benar berlangsung dari sistem media tertentu; gagasan-gagasan teoritis mengenai sistem: dan ideologi utama masyarakat (kapitalis, sosialis, revolusioner, pertumbuhan, dlsb). Namun demikian, hubungan dengan sitem politik tidak lagi cukup dicakup dengan sebuah teori modern jurnalisme praktis dan pers. Kategorisasi sistem media di era digitalini seharusnya juga mempertimbangkan kriteria ekonomis. Sebab, dalam kenyataannya, dimensi yang melandasi konsep deskriptif pers adalah ekonomis. Sebaliknya, dimensi yang melandasi konsep prescriptive jurnalisme mengacu kepada berita dan cara operasinya adalah filosofis. Ralf Lowenstein (1971) adalah salah satu yang menambahkan kreteria ekonimis bagi beragam klasifikasi jurnalisme dan pers. Terhadap kriteri standar, hubungan pemerintah-pers, dia tambahkan dengan kategori sponsorship pers. Model Lowenstein ini membedakan pers berdasar beragam level pertumbuhan ekonomis dan perbedaan bentuk kepemilikan media.
Baca Selengkapnya.....

Bertanya dan Profesi Journalisme

0 komentar
Jurnalisme, galibnya, adalah sebuah profesi sederhana. Sesederhana mengajukan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan –entah soal orang, soal peristiwa – menghasilkan fakta-fakta, dan fakta-fakta itulah yang membentuk berita. Tanpa fakta-fakta, tidak ada berita. Dengan demikian, profesi jurnalisme itu, pada akhirnya, difokuskan pada mengetahui pertanyaan tepat, mampu mengajukan pertanyaan itu,sejelas dan seterbuka mungkin, dan mampu menyampaikan dengan cara yang paling menarik, krearif dan mengerakkan.
Untuk mengajukan pertanyaan semacam itu, profesi ini membutuhkan banyak pengetahuan dan keterampilan, dan mengajukan pertanyaan itulah, entah di bawah tekanan atau tidak, yang membela kebebasan kita. Jurnalismen dapat kita katakan, sebagai puncak ekspresi demokrasi dan kebebasan itu. Rejim pemerintah dan para politikus sungguh memahami ini, dan secara terus menerus berupaya melawan kebebasan sepenuhnya bagi Jurnalisme, dan ini kadang-kadang berakibat buruk khususnya bagi jurnalisme penyiaran. Hubungan antara jurnalisme dan demokrasi sesungguhnya amat kompleks. Bagaimana dan pada taraf mana media berita memberi sumbangan bagi praktik dan struktur demokrasi? Dan bagaimana proses demokrasi itu memperkaya berita setiap saat, institusinya sendiri dan praktik serta rutinitasnya?
Berita sesungguhnya sesuatu yang hidup, terus berubah, tampil pada setiap saat hanya sebagai tangkapa sekilas atas realita. Karean alasan ini, jurnalisme sering disebatu sebagai ”the first draft of history” (draf pertama sejarah). Tentu saja, defenisi ini, agak gampang dimengerti dalam konteks jurnalis cetak tetapi sebaliknya agak sulit bagi para jurnalis siaran. Bila di media cetak tersedia waktu relatif banyak memikirkan ulang fakta-fakta sebelum dipublikasi, di media siaran tidak banyak waktu untuk itu. Jurnalisme siaran sangat tergantung pada silih bergantinya peristiwa yang tidak terkontrol, yang dalam dirinya sendiri membuat berita, jam demi jam, hari demi hari.
Buku Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, menjadi bahan literatur teoritis yang berupaya menempatkan jurnalisme –pertanyaan demokratis pada posisi layak dalam hubungan-hubungan publik. Pada demokrasi yang sesungguhnYa, setiap orang mempunyai hak untuk tahu, dan untuk berdiskusi mengenai apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Tentu saja wakil-wakil mereka di parlemen mungkin mencoba untuk membatasi hak demikan. Banyak hal yang ingin diketahui publik diupayakan tidak serta-merta dipublikasi. Itulah yang terjadi pada di masa ORLA dan ORBA di Indonesia bahkan di jaman Reformasi sekarang. Yang terbaru peliputan penggerebekan teroris di Tulung Agung dengan siaran langsung beberapa TV dianggap kebablasan. Dan pada penggerebekan sesudahnya, publik hanya diberitahu setelah prosesnya selesai. Alasannya, bisa mengganggu proses kerja Kepolisian dan serta potensi meloloskan diri para tersangka. Namun, para ahli sepakat bahwa pembatasan itu kadang-kadang perlu untuk menghindari tindak kekerasan dan ketidakadilan.
Baca Selengkapnya.....

Gagasan ”Informasi Lancar dan Benar ” Sang Menkominfo Baru Kita

0 komentar
Radar Sulteng
Senin, 26 Oktober 2009
K ORAN Radar Sulteng, dua hari lalu menurunkan tulisan Dahlan Iskan, soal komposisi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Berbeda dengan CEO Jawa Pos Group itu, yang ”hanya” mengulas tiga figur menteri: Fadel Muhammad, Freddy Numberi dan Gamawan Fauzi, yang menurutnya ”cukup menjanjikan”, tulisan ini khusus menyoroti figur Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) baru, terutama gagasannya soal informasi lancar dan benar. Sebagaimana banyak figur menteri lainnya yang dinilai tak istimewa, Presiden PKS ini pun mendapat komentar, ”lha koq dia?” Pada wawancara singkat di TVOne kemarin, sang menteri berkata, ”masyarakat kita di segala lapisan, harusnya bisa mendapat informasi lancar dan benar.”

Mendapat informasi secara lancar, artinya kita bisa mengakses informasi tanpa kesulitan, kapan saja kita membutuhkan. Informasi benar, berarti informasi yang akurat, yang berasal dari sumber yang benar. Bagaimana masyarakat kita dari segala lapisan di seluruh wilayah kesatuan RI ini mendapatkan informasi secara lancar dan secara benar? Inilah, yang menurutnya pekerjaan maha berat baginya berikut seluruh jajarannya. Tampaknya, sang menteri benar adanya. Mengapa?

Pertama, selama ini telah terjadi kesenjangan luar biasa dalam ketersedian infrastruktur dan kemampuan akses informasi, terutama yang berbasis elektronik di negara kita ini. Sementara kota-kota besar menikmati akses informasi dengan mudah, di daerah-daerah demikian sulit dan mahalnya mengakses informasi. Taruhlah misalnya Internet. Untuk wilayah kota seperti Palu saja akses internet masih sangat terbatas dan terbilang mahal. Untuk mengakses internet masih dominan melalui Warnet serta ada sedikit yang mengakses melalui fasilitas mobile phone seperti Blackbery.

Beberapa kantor menyediakan wifi gratis dan beberapa fasilitas cafe, namun harus membayarnya melalui menu yang disediakan. Biaya akses internet berkisar Rp. 5000-6000 per jam. Bayangkan dalam sebulan mengakses internet paling tidak harus menyisihkan rata-rata 150-200 ribu. Belum lagi fasilitas pendukung seperti jaringan yang sering drop diperparah kondisi kelistrikan kita yang tidak stabil.

Kedua, arus informasi sekarang ini semakin dominan melalui perangkat elektronik. Teknologi informasi, terutama Internet tampil sebagai saluran informasi tak terbatas untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat yang juga semakin tinggi. Informasi yang tersedia pun demikian beragamnya, sehingga memilahnya butuh keterampilan tersendiri. Sementara, masyarakat kita kadang-kadang tanpa memperhitungkan keakuratan informasi itu menelan bulat-bulat. Oleh karena itu, berpikir bagaimana menyediakan infratruktur jaringan tekonologi informasi tidaklah cukup tanpa dibarengi upaya mengedukasi masayarakat kita menggunakan perangkat teknologi berikut informasi yang dikandungnya. Artinya, kita membutuhkan keterampilan informasi, dan karena itu penting menggalakkan pemberantasan ”buta teknologi informasi” bagi suatu ”melek informasi” tinggi.

MELEK INFORMASI

Jika sejak awal kemerdekaan, pemerintah kita telah berjuang memberantas buta huruf di kalangan masyarakat kita, dan cukup berhasil hingga kita telah mencapai tingkat melek huruf/baca tinggi, kini kita harus memulai lagi gerakan pemberatasan buta teknologi informasi. Ini diperlukan agar kita juga bisa mencapai tingkat melek informasi tinggi.

Istilah Information Skill (Keterampilan Informasi) dan Information Literacy (Melek Informasi) masih sering dipertukarkan, namun keduanya menyangkut kemampuan di bidang informasi. Jika yang pertama bersifat teknis dan tebatas, yang kedua lebih luas karena selain mencakup keterampilan menggunakan teknologi juga mencakup informasi yang dikandungnya. Bahkan agaknya dapat diterima jika dikatakan keterampilan informasi bagian dari melek informasi. Pengertian melek informasi sendiri amat beragam, namun defenisi dari Doyle (1994) dapat menjadi pegangan kita. Katanya, melek informasi mencakup kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dari berbagai sumber, mengenali kapan dibutuhkan dan mengetahui bagaiman mengolahnya. Di Amerika Serikat, untuk keperluan pendidikan informasi di sekolah, dikatakan tujuan infomatinon literacy (melek informasi) adalah membantu siswa menjadi pencari aktif, locator kreatif, evaluator, dan user informasi, untuk mengatasi masalah serta memuaskan keingintahuan mereka.

Memang dengan semakin bertambahnya informasi yang disajikan secara elektronis, termasuk tuntutan e-government di hampir semua negara, telah muncul kebutuhan mendesak agar semua warga memiliki keterampilan relevan demi memastikan apa yang mereka cari, menemukan serta mengevaluasi kwalitas informasi yang didapatkan. Karena itu, upaya mengedukasi bagaimana menggunakan informasi sesuai tujuannya, dan untuk belajar dari proses mencari serta menemukan informasi, seharusnya sekarang menjadi urgensi bagi setiap negara.

Jauh-jauh hari, sejak semakin meningkatnya kebutuhan informasi serta penggunaan teknologi informasi, negara-negara maju sudah menekankan perlunya upaya meningkatkan keterampilan informasi bagi warganya. Demikian pentingnya, sehingga pendidikan keterampilan informasi sudah dimulai sejak sejak usia sekolah. Misalnya, mereka diajarkan bagaimana mengakses dan memperolah informasi di internet.

Untuk mencapai melek informasi bagi seluruh rakyat kita, diperlukan upaya luar biasa yang terencana. Kalau kita mengacu kepada teori difusi inovasi dari Rogers (1995) berarti diperlukan upaya awal untuk sosialisasi untuk meningkatkan aware/pengetahuan (knowledge), melakukan advokasi, sebelum proses implementasi dan konfirmasi teknologi baru. Banyak program, apalagi terkait dengan inovasi baru gagal karena tidak memperhatikan tahap-tahap ini.

Contoh kongkretnya jaringan teknolgi informasi yang tersedia belum dimanfaatkan dengan baik dan benar. Seharusnya dengan tersedianya teknologi informasi, para petani kita memperoleh informasi yang akurat mengenai produk-produk pertanian yang ramah lingkungan, termasuk harga pasar. Dengan demikian mereka tidak lagi menjadi korban dari pihak-pihak lain. Petani cengkeh di Toli-toli atau petani coklat di Morowali, mendapat informasi yang benar soal harga, sehingga mereka dapat menjual hasil panen mereka pada saat harga pasar terbaik. Para petani padi di Tolai dapat memilih pembasmi hama dan pupuk yang ramah lingkungan, bukannya tergantung pada promosi dan bujukan produsen.

Aparat pemerintah kita di kantor instansi pemerintah bener-benar menggunakan teknologi informasi (internet/komputer) untuk mendukung efektivitas pekerjaan, membenahi database yang kacau selama ini, serta meningkatkan pengetahuan mereka. Bukannya dipakai untuk bermain game, atau ber-chating ria pada waktu-waktu jam kerja, sebagaimana selama ini banyak dikeluhkan masyarakat.

PENGGUNA INTERNET

Negara kita sebetulnya termasuk cepat dalam mengadopi teknologi informasi. Kita adalah negara ketiga pertama di dunia yang memiliki satelit telekomunikasi, Palapa yang diluncurkan pada tahun 1976. Jaringan teknologi ini sangat membantu sehingga sekarang ini, dapat kita katakan jaringan telekomunikasi sudah menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Kita pun tidak tertinggal dalam tingkat akases Internet dibanding banyak negara lain.

Menurut data terakhir oleh Internet Word Stats (Maret 2009) dari total jumlah penduduk 237 juta jiwa, terdapat 25 juta penduduk Indonesia sudah menjadi pengguna Internet. Mencapai 10 persen dari total jumlah penduduk kita. Pertumbuhannya, pun cukup fantastis selama kurun waktu 10 tahun terakhir, yakni 1.150 persen. Jumlah pengguna internet kita menyumbang 3,8 persen angka pengguna internet Asia yang mencapai angka 657 juta jiwa. Persentase ini memang masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain di Asia. Angka tertinggi diraih Singapura yakni sekitar 67,4 persen dari jumlah penduduk. Korea selatan (76,1 persen), Jepang (73,8 persen), Malaysia(62,8 persen), China (22.4 persen) dan Filipina (21.6 persen).

Data-data ini menggembirakan, dan dapat menjadi modal awal bagi gebrakan Mentreri Komunikasi dan Informasi baru. Latar belakang pendidikan (Management Informastika) berikut pengalaman bekerja di bidang IT tentu membantunya memhami persoalan yang ada. Gagasan di atas tadi benar-benar menggambarkan kondisi dan tantangan kita sekarang.

Semoga Menteri baru, mampu merealisasi gagasan informasi lancar dan benar karena meningkatnya keterampilan informasi, sejalan dengan upaya pemerataan infratruktur dasar bagi akses informasi berikut teknologinya di seluruh wilayah negara kesatuan RI. Mendorong instansinya di daerah membangun kerjasama dengan pihak-pihak berkompeten dalam upaya edukasi dan sosialisasi, misalnya fakultas teknik informatika atau ilmu komunikasi, adalah langkah strategis yang pantas diperhitungkan. Dengan demikian, dalam waktu tidak terlalu lama, masyarakat kita bisa mencapai melek informasi yang tinggi, sekaligus menjawab ”keraguan” banyak pihak pada kemampuan Menkominfo baru kita. Semoga.

Stepanus Wilfrid Bo'do'
Dosen Komunikasi Fisip Untad
Baca Selengkapnya.....

PANDUAN UJI KELAYAKAN (PUK) INFORMASI DARI INTERNET

0 komentar
Kwalitas pertanyaan yang kita ajukan menentukan kwalitas informasi yang kita dapatkan. Dari sumber mana saja. Apalagi informasi dari Internet, yang bagaikan rimba raya itu. Berikut sejumlah pertanyaan, sekalipun sudah amat umum kita pakai sebagai pendekatan terhadap berbagai sumber informasi, tetapi penting sekali diajukan setiap kita berhubungan informasi Internet. Apalagi untuk keperluan study di Universitas, kita benar-benar harus menjadi pengguna informasi yang kritis. Untuk efektifnya, kita gunakan rumus jurnalisitik yang berabad-abad sudah teruji keandalannya, 5W+1H.

1. Who? Siapa? Isema?
Siapa pihak bertanggung jawab terhadap informasi ini? Seorang bergelar Doktor? Mahasiswa semester pertama? Salesman? Aktivis LSM, Peneliti, Politikus? Apakah identitasnya ditampilkan jelas? Apakah sang penulis memiliki kompetensi keilmuan/pengalaman terhadap topic yang dibahas?

2. Where? Dimana? Riava/Riumba?
Dari mana asal informasinya? Apakah dari Universitias ternama atau sekolah dasar? Perusahan/lembaga komersil, partai politik, Negara industri maju, situs publikasi pribadi atau situs resmi lembaga riset yang diakui?

3. Why? Mengapa? Nakuya?

Mengapa materi informasi ini muncul di Internet? Apa maksud tujuannya – memberi perintah, meyakinkan, menawarkan sesuatu, mengaburkan, dan menjebak? Apakah bias, atau kabur? Apalah ini uraiannya seimbang, dan lengkap?

4. What? Apa? Nuapa?

Apakah lokasi terbaik untuk saya mendapatkan informasi spesifik ini? Apakah web menjadi tempat tercepat, terbaik, terefektif buat saya mencari informasi yang saya butuhkan? Apakah informasi ini terkait dengan Buku teks, buku perpustakaan, majalah atau surat kabar? Apakah ada bandingannya buat saya. Apakah saya dapat membatasi waktu saya di Internet?

5. How? Bagaimana? Berimba?
Bagaimana format informasinya? Seberapa mudah dicerna? Seberapa baik ditulis? Apakah tidak ada kesalahan tulisan? Apakah informasi ini masih membutuhkan informasi latar belakang, yang belum saya punyai?

6. When? Kapan? Maipiapa?

Kapan materi informasi ditulis? Kapan terakhir diupdate? Apakah masih valid? Apakah sudah kadaluarsa? Apakah linknya banyak? Apa masih bisa di akses besok lusa?

Saya yakin, jika kita konsisten mengajukan pertanyaan di atas, kita akan mendapatkan informasi yang berkualitas, sesuai yang kita butuhkan. Selamat mencoba.

Sumber: www.lovett.org//library.htm.
Baca Selengkapnya.....

Kuliah II: Perspektif: Hakekat dan Fungsinya

0 komentar
"Tuhan benar-benar ada,” begitu harian olah raga Argentina, “OLE”, menyambut tiga kemenangan beruntun skuat Diego Maradona pada uji coba bulan lalu. Rabu (14/10), Argentina lolos ke Piala Dunia 2010, dan mempertegas judul berita itu (Kompas Jumat, 16/10/2009) Di tengah hujan kritik public, sang legenda sepakbola itu mengatakan, “Tuhan telah menyelamatkanku berkali-kali dan saya berharap Dia akan melakukannya lagi kali ini.” Maradona merasakan kehadiran Tuhan dalam sepak bola saat ia menjebol gawang kiper Ingris Peter Shilton, di perempat final Piala Dunia 1986 dengan tangan. Aksi yang dianggap curang itu tidak tertangkap wasit dan belakangan El-Diego menyebut gol tersebut tercipta berkat Tangan Tuhan. Sejak itu sosok Maradona seakan tak terpisahkan dari peristwa“Gol Tangan Tuhan”.

Peristiwa berbau magis itu, melahirkan kontroversi, bahkan hingga kini. Dari tangkapan kamera, jelas-jelas Maradona menyentuh bola dengan tangan. Wasit yang memimpin pertandingan tidak melihatnya dan menganggap gol itu sah. Seandainya sang wasit beserta para asistennya melihat rekaman kamera dari berbagai sisi, kemungkinan keputusannya akan lain.
Peristiwa bersejarah di arena sepak bola ini, menggambarkan kebenaran umum dari OBSERVASI/INTERPRETASI. Pengetahaun kita atas realitas apa pun tegantung pada observasi/interpretasi kita atasnya. Ini berarti , apa pun yang diketahui seseorang tegantung pada observasi dan interpretasinya atas objek tersebut. Dan observasi dan interpretasi sesuatu objek tergantung pada PERSPEKTIF yang dipakai untuk mengobservasi dan menginterpretasikan. Peristiwa gol di depan gawang Inggris tetaplah sama, dan tak berubah oleh adanya beragam penyorotan dari berbagai sudut yang berkembang sesudahnya. Yang harus berubah adalah pemahaman kita atas peristiwa itu (yakni observasi/interpretasi kita pada peristiwa itu). Adapun pemahaman kita atas peristiwa itu, ia tergantung pada perspektif yang kita miliki dalam mengamati peristiwa tersebut. Dan sebagian dari perspektif kita itu mencakup “perangkat ide” atau konseptualisasi yang kita punyai tentang peristiwa sebagaimana ia berlangsung. Pertanyaannya, apakah Perspektif lebih baik dari pada yang lainnya, karena ia benar-benar mencerminkan peristiwa tersebut?

Dalam pengkajian ilmiah, terdapat banyak pertanyaan yang dihadapkan kepada para peneliti yang tidak dapat dijawab hanya oleh jawaban ya dan tidak. Fisher mengutip Elsasser (1966) yang memberikan istilah pada aspek fenomena ilmiah di bidang social ini dengan “ketidakhomogenisan” yang radikal, radical inhomogenity dari fenomana kehidupan.

Untuk menjelaskan ini, Fisher mengambil analogi lukisan Picasso (penganut ekspresionisme), sebuah meja yang menggambarkan sekaligus sisi atas, bawah, dan keempat kakinya. Menyaksikan lukisan semacam ini, tentulah terkesan bagi kita tidak “realistis”. Dengan kata lain, jika suatu perpektif atau pandangan adalah “realistis”, maka sebagian dari suatu fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan yang lainnya mengalami distorsi. Kecuali itu semua, objek yang berada jauh akan tampak lebih kecil, walaupun yang sebenarnya mereka dapat lebih besar atau sama dengan objek yang ada di latar depannya. Namun, menurut Fisher, justru inilah suatu resep elementer dari hakekat perspektif.


Dengan kata lain, setiap perspektif, pada taraf tertentu kurang lengkap serta didistorsi, meskipun ia merupakan suatu yang amat “nyata”. Kesimpulannya adalah bahwa hakekat realitas tidak semata-mata jadi masalah. Fakta ini tidak dapat dipertengkarkan lagi. Sebagai peneliti ilmiah sejati, seyogyanya lebih bertindak seperti Picasso yang menginginkan observasi selengkap mungkin sekalipun ia perlu MENDISTORSI realitas sampai batas-batas tertentu. Tambahan lagi, kita hanya memiliki sedikit pilihan dalam menggunakan suatu perspektif yang tidak lengkap dan tercemar namun yang dianggap sebisa-bisanya lengkap. Kita pun hendaknya ingat bahwa nilai perspektif kita tidak terletak dalam niai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua perspektif yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas. Penelusuran kita adalah mencari perspektif yang dapat memberikan koseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita.

Di luar istilah perspektif sebenarnya masih banyak yang lain, paradikma dari Kuhn (1970), disiplinari matrix, atau istilah domain dari Shapere (1974). Namun, menurut Fisher sejauh ini tidak ada satu pun yang memberikan kepekaan yang selalu siap bagi penggunaan yang umum, lagi pula tidak memberikan kesan atas adanya pandangan berbeda atas fenomena yang sama.


Sifat-Sifat Perspektif

1. Perspektif bersifat membantu penemuan relevansi. Ia dipakai untuk meninjau fenomena apap pun tidak sedikit menentukan aspek apa dari fenomena itu yang dipandang paling penting atau relevan, dan sebaliknya, aspek mana yang kiranya kurang penting dan tidak relevan. Fisher memberikan analogi analisa histories dari Bohm (1974) tentang penelitian malaria. Pada awalnya malaria atau penyakit udara kotor, dipandang sebagai akibat dari menghirup udara malam yang lembab. Bukan tidak mungkin, para perumus teori telah memperhatikan daerah rawa dan kolam air dan berspekulasi bahwa adanya air ini mungkin berpengaruh terhadap adanya udara lembab. Dengan mengeringkan air tanah, dapat menurunkan kasus malaria, demikianlah mereka mengkonfirmasi perspektif mereka. Nah, sekarang kita tahu malaria disebabkan bakteri yang dibawa nyamuk. Namun, nyatanya dengan mengetahu populasi nyamuk malaria mendorong para penyusun teori lantas mengeringkan air tanah berlebihan, disamping menggunakan insektisida dan obat-obat antibiotic. Kita lihat dalam dua perpektif berbeda soal malaria, telah membawa kepada kesimpulan yang sama sekali berbeda-sekalipun tindakan (mengeringkan air tanah) dan hasilnya (mengurangi malaria) dapat saja identik. Kesimpulannya, apa yang kita ketahui sekarang dan atau pernah dapat diketahui bukanlah kebenaran tetapi pemahaman – suatu pemahaman yang diciptakan manusia.Dan karena pemahaman itu merupakan produk kemanusiaan kita ia tunduk pada perubahan konseptual. Ia seperti sebuah film-yang secara konstan berubah dan dapat dipersalahkan.
2. Terikat waktu dan budaya. Salah satu aspek fundamental ilmu social yang membedakan dari disiplin lain adalah konsep yang tidak konstan. Konsep berbeda-beda dari suatu periode sejarah ke periode yang lain dari suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain walaupun dalam periode yang sama (karena itu kita membutuhkan perpektif Indonesia soal ilmu komunikasi). Fisher mengacu kepada Weaver (1953) yang menggambarkan sifat retorika/komunikasi abad ke-19 yang dia namakan spaciousness (keluwesan ruang), Konsep ini menyangkut suatu konsep yang hanya telah berubah karekternya melalui perjalanan waktu. Konsep dapat menjelaskn fenomena di Indonesia mengenai pandangan kita sekerang ini terhadap nilai-nilai Pancasila, Kebangsaan, Kebebasan Pers, termasuk peristiwa-peristiwa sejarah seperti G-30S PKI, Supersemar. Juga termasuk perubahan prilaku masyarakat kita dalam pemilihan figure-figur pemimpin mereka: tidak lagi atas dasar kompetensi berdasar urgensi masalah yang dihadapi tetapi atas dasar “citra” atau “kesan” melalui media yang kita konsumsi. Keragaman prinsip ilmu social ini sepanjang batas waktu dan kebudayaan dapat menyatakan bahwa penjelasan yang evolusional dapat lebih berarti daripada prinsip yang ada dalam ilmu fisika.

Kredit Foto
soccerlens.com/.../maradona-hand-of-god-goal.jpg
wikimedia.org/.../4/4d/Juan_Gris_004.jpg
Baca Selengkapnya.....

Kisah Asmara Sang Insinyur dan Satelit Palapa

0 komentar
Artikel Lepas

Pada tahun 1976 Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik dengan menggunakan Satelit GSO, yakni sistem Palapa. Palapa inilah yang kelak menjadi nama paten bagi sejumlah satelit telekomunikasi geostasioner Indonesia. Nama ini diambil dari "Sumpah Palapa", yang pernah dicetuskan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit pada tahun 1334. Satelit pertama (Palapa A) diluncurkan pada tanggal 8 Juli 1976 oleh roket Amerika Serikat dan dilepas di atas Samudera Hindia pada 83° BT.

Pada awalnya, Palapa didesain untuk komunikasi domestik karena sistem satelit itu memang ditujukan untuk mempersatukan Indonesia. Sistem satelit ini memberikan layanan teleponi dan faksimil antarkota di Indonesia dan juga menjadi infrastruktur utama pendistribusian program televisi. Kini kita memiliki sejumlah satelit yang mencakup seluruh kepulauan Indonesia.
Di balik proyek awal Satelit Palapa, yang merupakan titik awal bangsa kita mengenal teknologi komunikasi dan berhubungan dengan dunia, ternyata terdapat kisah-kisah romantika dan nilai sejarah terselubung yang dialami seorang insinyur yang turut berjasa - bersama sejumlah rekannya dari Indonesia dan Negara-negara lain - membangun system teknologi luar biasa itu di Indonesia.
Tepat setahun sebelum peristiwa peluncuran yang bersejarah itu, Walter Peterson, seorang insinyur muda kelahiran Jerman dari Amerika Serikat tiba di Indonesia. Ia bersama timnya mendapat tugas dari perusahannya untuk mengerjakan proyek Satelit Palapa dan awal berfungsinya Sistem Telekomunikasi Satelit Indonesia.
Walter cs melakukan tugas mereka dalam dua tahap. Yang pertama adalah menemukan titik untuk pembangunan stasiun darat bagi satelit Palapa. Dengan susah payah karena medan berat ditambah alat seadanya, timnya bekerjasama dengan rekan-rekan Indonesianya sukses membangun stasiun pengendali utama di daerah sekitar Bogor (Cibinong). Kisah sukses itu berlanjut hingga paling tidak 40 stasiun berhasil mereka bangun di berbagai daerah di nusantara. Pada tahap selanjutnya, Walter sendiri bertugas melakukan pemeriksaan dan perbaikan bila terjadi sesuatu masalah dalam pengoperasian. Untuk itu ia harus melakukan perjalanan mengunjungi semua stasiun yang ada di Indonesia, mulai dari pulau Jawa, Samatera, Batam, Kalimantan, Ujungpandang (termasuk liburan ke Toraja), Manado, Ambo, Merauke, Sorong, hingga Fak Fak (Papua).
Sebagai orang asing, dengan bahasa Indonesia seadanya, Walter Peterson berjumpa dengan budaya asing dari sebuah negeri kepulauan yang eksotik bagiakan taman firdaus bernama Indonesia. Ia terutama senang berjumpa dengan gadis-gadis Indonesia yang ramah, cantik, dan penuh pelayanan. Selama masa 1974-1978 di Indonesia, ia mengambarkan dirinya, seorang petualang cinta sejati.


Di tiap tempat yang dia datangi, ia pasti menemukan wanita-wanita cantik dan ramah yang siap menjadi pendamping selama kunjungannya. Ia bahkan dengan fasih berkisah tentang sejarah atau cerita legenda soal tempat-tempat terkenal di Indonesia. Ia juga jeli mengamati dan mencatat perilaku masyarakat. Tetapi, di pedalaman Papua lah, di Sorong ia berjumpa dengan Nelly, gadis hitam manis yang menjadi cinta sejatinya. “Sewaktu melihat gadis ini, untuk pertama kali, aku benar-benar terpukau,aku berdiri di sana seakan-akan terpaku. Tetapi segera mengetahui bahwa aku mesti berkenalan dengan gadis ini.” Nelly bukanlah satu-satunya wanita yang dikenal dan dicintainya, masih banyak yang lain yang memberinya “hadiah senyuman manis dan mesra.”
Sayangnya, petualangan cintanya tidak berakhir indah. Monica, istrinya yang sudah mengaruniakan dua putra, Peter dan Michael, akhirnya meminta bercerai.
Nelly pun, pada situasi yang disesalinya, akhirnya berpisah darinya. Kelak ia menghabiskan waktunya untuk mencari, dan menemukan Nelly. Namun, ia harus menyesali seumur hidupnya, karena Nelly ternyata telah diboyong seorang Jerman lain ke negaranya.


Kecintaannya pada dunia kepulauan yang sangat memesonakan ini, ditambah kenangan akan kolega yang bekerja dengannya selama kurun waktu di Indonesia, berikut semua wanita yang manis dan baik hati, mendorongnya mengisahkan kembali dalam memoarnya berjudul; Die Strasse nach Bogor: Erfahrungsbericht eines Mannes in Indonesia yang kini sudah dapat dinikmati terjemanhan Indonesianya: Jalan Ke Bogor: Palapa dan Wanita Papua, Risalah tentang Pengalaman Seorang Laki-laki di Indonesia karya Klaus G. Johannsen.
Buku ini layak dan pantas dibaca generasi muda Indonesia. Inilah kisah nyata perjalanan hidup Walter Peterson, seorang yang keluar dari negeri asing datang ke Indonesia untuk bekerja dengan kondisi Indonesia di era 70-an yang ekstrem dan penuh tantangan, tetapi ia berhasil menyelesaikan pekerjaan itu dengan caranya yang unik dan mengajarkan kita bagaimana cintanya pada negeri ini tumbuh. Sebuah negeri indah yang kelak hanya, seperti katanya, “hanya bisa ku impikan”.

Kredit foto:


www.boeing.com/.../376/palapa_a/palapa_a.html
Baca Selengkapnya.....

Kuliah I Teori: Hakekat dan Fungsinya

0 komentar
Pengantar
Sulitlah menyangkali kenyataan bahwa komunikasi salah satu aspek paling luas, penting, lagi kompleks dari keberadaan kita manusia. Sedemikian sehingga, kemampuan berkomunikasilah yang membedakan kita dari makluk ciptaan lain.
Dalam konteks semacam itulah, teori-teori komunikasi tampil, membantu kita menjadi lebih kompeten (pakar) dan adaptive (berkemampuan penyesuaian), memahami dan beradaptasi dengan situasi-situasi kompleks. Teori memperluas persepsi kita, membukakan mata, dan membantu kita menjadi lebih fleksibel serta menjadi seseorang yang mampu melihat objek sederhana dan biasa, yang belum pernah ada seorang pun melihat sebelumnya. Seperti peta atau bagan, demikianlah teori-teori komunikasi menyediakan alat pandang bagi kita, melihat hal-hal baru dan berguna, sesederhana apa pun itu.

Stephen LittleJohn dalam bukunya Theories Of Human Communication (1995) mengatakan, secara umum teori pada dasarnya memiliki ciri yang sama. Pertama, sebagai seperangkat abstraksi, karenanya bukanlah mencakup semua yang dikonseptualisasikannya, ia parsial dan karenanya pula tak bakal ada teori tunggal soal kebenaran. Kedua, sebagai sebuah konstruksi, teori adalah hasil bentukan manusia, bukan Tuhan. Ia menyediakan beragam cara mengamati lingkungan, tetapi dirinya sendiri bukanlah refleksi semua realitas. LittleJohn mengutip Abraham Kaplan yang menyatakan,” pembentukan sebuah teori tidak sekadar untuk menemukan fakta tersembunyi: teori juga adalah jalan atau cara melihat fakta-fakta, yang mengorganisir dan merefresentasikannya...” Selanjutnya, mengutip Standley Deetz “sebuah teori adalah sebuah jalan memandang dan memikirkan dunia ini. Sedemikian, sehingga lebih baik kita ibaratkan sebagai sebuah “lensa” yang digunakan seseorang untuk mengobservasi, lebih dari sekadar sebuah “cermin” atas alam ini.

Onong Uchana Effendy dalam bukunya, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (2003) mengutip defenisi teori dari Wilbur Schram. “Teori adalah suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan, pada abstraksi dengan kadar tinggi, dan dari padanya proposisi dapat dihasilkan yang dapat diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan pridiksi mengenai prilaku.” Tentu saja kita perlu awas, defenisi ini hendaknya kita tempatkan pada konteks kajian ilmu komunikasi.

Demikian beragam dan simpang siur pengertian mengenai hakekat dan arti teori, sehingga Aubrey Fisher dalam bukunya berjudul “Perspektive Of Human Communication” (Terj. Indonesia: Teori-teori Komunikasi, 1986) mengakui sendiri kesulitannya. Fisher mengingatkan bahwa bukankah dalam pertanyaan mengenai hakekat dan arti teori itu, terkandung dua pertanyaan: Apa itu Teori? dan Apa fungsi Teori? atau Apa yang (harus) dilakukan teori itu?dan bagaiman teori itu sendiri digunakan?

Arti kamus dari Teori dipakai dalam variasi yang luas. Misalnya seorang detektif swasta dalam serial TV mempunyai suatu “Teori” tentang kasus pembunuhan yang belum terungkap. Teori oleh Detektif menunjukkan dugaan, perkiraan, atau hypotesis. Atau, seorang mahasiswa menganggap teori sebagai lawan dari pelajaran lain yang “praktis dan relevan”

Teori Ilmiah

Tetapi di sini, kita berkepentingan terhadap sebuah teori, dalam arti yang ilmiah. Maka, harusnya ia lebih dari sekadar dugaan, sesuatu yang dipandang tidak praktis, ataupun spekulasi saja. Dalam konteks ilmiah inilah, tampaknya teori melibatkan hal yang lebih banyak lagi. Sebagai hasil dari sebuah metode ilmiah, lahirnya sebuah teori (yang ilmiah) telah melalui proses pranjang. Dimulai dari melakukan penyelidikan dan pemaparan secara objektif, berorintasi masalah, s dipandu hipotesa-hipotesa,berorientasi teori serta bersifat korektif mandiri (self-corective).

Aubrey Fisher mengutip Ernest Nagel (1967:5-6), penggagas theories received view, yang menyarankan perlunya teori dalam setiap pengkajian ilmiah sebagai alternatif dari anggapan umum, yang seringkali tidak tepat dan tidak konsisten. Dalam lapangan ilmiah, ada keharusan dan keinginan agar teori dapat mengorganisasikan pengetahuan dan menyediakan arah bagi peningkatan pengetahuan, dan bukan sekedar untuk bahan pertentangan.

Sumber utama membentuk teori komunikasi adalah Filsafat Ilmu. Para filsuf di bidang ilmu, adalah ahli- ahli filsafat di bidang ilmu yang mengkaji masalah filosofis, yang berhubungan dengan perkembangan teoritis secara umum serta perkembangan teori ilmiah dari suatu disiplin secara khusus. Untuk setiap bidang pengetahuan tertentu, mereka dapat mengorganisasi, mensistematisi pengetahuan yang ada dalam suatu kerangka kerja teoritis, menjelaskan prinsip ilmiah yang telah dikonfrontasi atau diterima secara luas, dan menelusuri perkembangan historis dari prinsip tersebut.
Fisher mengutip Robson (1968:369), sosiolog yang merumuskan kembali kata-kata Lakatos, seorang filsuf ilmu, bahwa sumbangan filsafat ilmu ialah “seakan mengatakan kepada para ilmuwan, apa yang telah mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya setelah mereka melaksanakannya.” selanjutnya (370)”para filsuf ilmu sendiri tampak terpecah-belah dalam hal nasehat apa dan penyuluhan apa yang selayaknya mereka berikan kepada kita.
Selanjutnya, Fisher mengutip Frederick Suppe (1974:4) yang mengatakan” Selama lebih dari 50 tahun, filsafat ilmu telah terlibat dalam suatu pengkajian untuk memperoleh pemahaman filosofis atas teori-teori ilmu, hari ini pun penelitian itu masih berlangsung.” Kajian semacam itu bertujuan memperkaya pemahaman kita tentang komunikasi antar manusia yang mencakup:
• struktur teori
• Bagaimana teori dikaitkan dengan realitas
• Observasi fenomena komunikatif,
• Metode dalam mengobservasi
• Metodologi penelitian komunikasi,
• Mengidentifikasi fenomena komunikatif,
• Menganalisa data dari observasi komunikatif, dst.
• Hakekat teori


Fungsi Teori

Jadi, pertanyaan kita sekarang, seperti apa rupa suatu teori komunikasi itu? Apa ia suatu daftar aksioma yang dirumuskan dalam suatu tatanan kalkulus logika matematis kalkuli? Apakah ia suatu morfologi dan taksonomi yang komprehensip dari fenomena komunikasi? Apakah ia berupa konsep fundamental yang digabungkan menjadi satu dengan daftar hubungan yang menggambarkan keterkaitan satu dengan lainnya?
Menurut Fisher, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas sering malah menimbulkan pertentangan. Fisher menawarakan, salah satu jalan keluar adalah kita fokus pada fungsi teori, sekaligus melihat bagaimana ilmuwan menggunakan teori.

Stephen LittleJhohn dalam buku Theories On Human Communication (1995) menguraikan fungsi teori itu.

1. Teori mengorganisir/meringkaskan pengetahuan, sehingga kita tidak perlu memulai semua dari awal, kita bisa memulai penyelidikan dari pengetahuan-pengetahuan yang terlah teroganisir dari generalisasi para ilmuan sebelum kita.
2. Teori memusatkan perhatian kita pada variable-variabel dan hubungan-hubungan dan bukannya yang lain. Ia seperti peta yang menunjukkan kita wilayah atau bidang observasi.
3. Teori mengklarifikasi apa yang diobservasi. Klarifikasi itu tidak saja membantu pengamat memahami hubungan-hubungan tetapi juga memaknai peristiwa-peristiwa spesifik. Teori komunikasi, sejatinya, menyediakan panduan untuk memaknai, menjelaskan, dan memahami kerumitan hubungan manusiawi.
4. Teori menawarkan bantuan observasi. Ini masih ada hubungan dengan fungsi focus, tetapi bukan hanya menekankan apa yang diselidiki tetapi juga bagaimana cara menyelidiki. Ini terutama pada teori-teori yang menyediakan defenisi operasional, dengan mana ahli teori memberikan kemungkinan indicator-indikator dari konsep-konsep spesifik. Dengan demikian, dengan mengikuti petunjuk itu, kita dipimpin menyelidiki rincian-rincian yang telah dielaborasi oleh teori.
5. Teori berfungsi memprediksi. Fungsi prediksi inilah yang menurut Little John dan banyak lainnya, sebagai fungsi yang paling banyak dipedebatkan sebagai tema tujuan penyelidikan ilmiah. Banyak teori memberi jalan bagi para teoritisi membuat pridiksi hasil dan efek dalam data. Kemampuan prediksi teori ini, sangat penting pad wilayah-wilayah aplikasi serperti persuasi, psikoterapi, komunikasi organisasi, periklanan, public relation, komunikasi pemasaran, dan media massa. Ada beragam teori komunikasi yang menyediakan kita alatbantu untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan di bidang komunikasi.
6. Teori berfungsi Heuristik. Ada aksioma umum bahwa teori yang baik menghasilkan penyelidikan-penyelidikan lanjutan. Spekulasi-spekulasi yang diajukan kepada teori komunikasi sering kali menyediakan panduan arah mana riset dilakukan, dan karenanya menjadi alatbantu penyelidikan. Fungsi heuristic alatbantu penyelidikan sangatlah vital bagi pengembangan ilmu dan dalam arti tertentu merupakan akibat dari berkembangnya fungsi-fungsi teori lainnya. Fungsi ini masih terus diperdebatkan juga. Intinya kritik bahwa fungsi ini seringkali justru diabaikan, dan justru berfokus pada fungsi justifikasi atau pengujian hypotesis
7. Teori berfungsi komunikatif. Setiap peneliti dan toritisi ingin dan membutuhkan publikasi hasil-hasil observasi dan spekulasi mereka untuk pihak-pihak yang berminat. Teori menyediakan kerangka kerja untuk proses komunikasi ini dengan menyediakan forum terbuka untuk perdebatan, diskusi dan kritisi. Melalui komunikasi beragam penjelasan-penjelasan mengenai topic study kita, perbandingan dan pengembangan-pengembangan dimungkinkan.
8. Teori berfungsi Kontrol. Fungsi ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai penilaian efektifitas, dan kelayakan suatu sikap tertentu. Teori demikian sering dihubungkan dengan teori normative, yang mencari ferforma norma-norma yang mapan. Tentu saja banyak teori, yang tidak berupaya memenuhi fungsi ini, tetapi banyak teoritisi yakin bahwa semua teori pada dasarnya berorientasi nilai dan control, bahwkan ketika teoritisinya tidak bermaksud demikain.
9. Teori berfungsi generative. Fungsi ini sangat relevan dengan tradisi interpretative dan kritis, serta paradikma alternative dalam ilmu social. Singkatnya, berarti menggunakan teori untuk menantang cara hidup yang sudah ada, dan untuk memunculkan cara hidup baru – fungsi teori untuk meraih perubahan. Menurut Kenet Gergen, “ kemampuan untuk menantang asumsi-asumsi yang telah menjadi panduan dalam masyarakat, memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan social terkini, memacu pertimbangan tentang apa yang "taken for granted”, dan karenanya untuk memunculkan alternative-alternative segar bagi tindakan social.”
Baca Selengkapnya.....

Kuliah Teori-Teori Komunikasi

0 komentar
Pada kuliah ini kita akan membahas teori-teori, model-model,dan paradigma gejala-gejala sosial dalam perspektif ilmu komunikasi. Buku yang akan dipakai adalah: buku Theories Of Human Communication, karya Stephen LittleJhon, Teori-Teori Komunikasi, terjemahan dari karya B Aubrey Fisher, Perspective of Human Communication, buku Theories of Communication: A short Introduction yang diterjemahkan dari Buku Histoire des theories de la communication karya Arman Mattelart dan Michele Mattelart, serta buku karya Onong Uchana Effendy berjudul Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi

Baca Selengkapnya.....

Pertemuan III: Efek Digital Terhadap Jurnalisme

3 komentar
Efek era digital terhadap jurnalisme ini, dengan jelas terlihat pada cara foto dan film yang kini dapat diproduksi dengan singkat dan mudah. Di masa lalu, prosesnya akan memakan waktu lama. Untuk tiba di ruang redaksi, kadang-kadang klise foto harus dikirim melalui jarak yang jauh, memakai kendaraan, kreta api, kapal bahkan pesawat. Itu pun masih membutuhkan waktu lama di ruang gelap untuk proses cetak. Sekarang semua dapat dilakukan sekaligus dengan menggunakan kamera digital, handphone, bahkan komputer laptop. Sesaat setelah gambar diambil dengan kamera digital dapat dengan segera disambungkan dengan kabel atau bluetooth ke komputer, dan dalam hitungan detik komputer dengan segera membaca dan mendownload foto dan menampilkan ke layar komputer.
Editor gambar di ruang redaksi atau di kator berita hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengecek kualitas gambar dan menambahkan keterangan sebelum dikirim secara otomatis melalui jaringan internet ke mana saja hendak dikirimkan di seluruh dunia. Gambar juga dapat didesain ulang, sehingga dapat ditampilkan sebagai desain web, dalam bentuk tampilan gerak (mis. Slite-show). Bahkan, kamera digital dapat sekaligus merekam gambar gerak sekaligus merekam komentar atas gambar yang bisa diputarkan kembali.
Editor surat kabar juga bisa menggunakan sistem kontrol menggunakan internet untuk melihat dan memberitahu kameramen, gambar mana yang mesti diambil, dari jarak ribuan mill. Era digital tengah mengubah Jurnalistik untuk selamanya. Sekarang siapa pun yang memiliki akses ke Internet dapat menikmati berita apa saja yang mereka inginkan, dapat berlangganan secara personal dengan penyedia berita, yang hanya akan mengirimkan berita yang mereka inginkan langsung ke account pribadi mereka. Organisasi media besar meng-update beritanya ke seluruh dunia setiap saat. Dengan kata lain, era digital jurnalisme memungkinkan konsumen menikmati berita yang mereka butuhkan pada saat mereka menginginkan. Media menjadi sangat personal.
Interaktif
Era digital jurnalisme juga lebih interaktif. Sebelumnya, proses jurnalistik berlangsung searah, dan kita harus percaya pada para editor, reporter dan fotogarafer dan mengambil apa yang mereka sodorkan. Ini tidak berlaku lagi. Diskusi bahkan perdebatan terhadap semua issu semakin diperkaya pada era digital. Kita dapat dengan mudah mengomentari, mengeritik, memberikan koreksi terhadap sebuah berita.
Era digital bagi jurnalistik juga berarti mengambil bentuk dan cara baru dalam penulisan dan pengeditan. Penulisan jurnalistik lama berdasar pada cara bercerita linear, sering kita sebut piramida terbalik (akan kita diskusikan nanti). Ini menyediakan kepada pembaca, pendengar atau pemirsa rangkuman lead, dan memberikan detailnya dalam bentuk teratur. Ini akan bekerja baik di halaman cetak, namun tidak lagi di layar komputer. Dengan hypertex sekarang memungkinkan jurnalis menuliskan berita secara online yang multidimensi. Jurnalis dapat membentuk berita secara berbeda, dan membiarkan pembacara mengambilnya menurut cara mereka sendiri. Mungkin seorang pembaca akan mengklik kata-kata kunci atau istilah-istilah teknis, yang lain ke tulisan terkait mengenai fakta yang ditampilkan di dalam berita. Setiap berita online dapat dibaca dengan banyak cara, dan seluruhnya tergantung selera pembaca. Link atau pautan dibuat untuk ide-ide terkait, yang sangat berbeda dengan pendekatan jurnalisme lama, yang dikompilasi, disusun logis, dan analitis.
Internet juga memungkinkan jurnalis mendapatkan fakta-fakta dengan cara yang sangat berbeda. Mencari fakta sekarang amat mudah. Namun demikian, pelaporan melalu internet berarti bahwa seorang jurnalis tetap harus mengecek fakta-fakta dan tidak mengambilnya bulat-bulat, hanya karena sumbernya mengatakan benar. Siapa pun dapat menaruh apa pun di Internet. Luciano Floridi (1995) berpendapat bahwa Internet tampil seperti perpustakaan raksasa di mana setiap setengah jam sejumlah buku ditumpukkan di pintunya dan setiap hari mengubah posisi buku di rak-raknya.”
Era digital berarti bahawa informasi beralih dari tangan pemerintah ke tangan para jurnalis. Itu juga berarti sebuah kesempatan baru untuk jurnalisme modern. Pengolahan kata adalah produk pertama yang masuk di ruang redaksi, spreadsheets serta data base untuk penyimpanan dan analsis data menyusul. Kemudian, Internet mengubah secara radikal strategi pencarian sumber-sumber berita dan informasi.
Kekuatan Database
Dat base sebenarnya mirip dengan kartu-kartu file di masa lalu. Jika kita ingin mencari informasi khusus, misalnya orang tertentu, ini menjadi mudah. Jika kita ingin data statistik dan data base komputer melalui internet akan melakukanna untuk kita. Spreadsheet terdiri atas kolom dan garis-garis, dengan sel di setiap pertemuan. Sell ini berisi teks, gambar dan rumus-rumus. Misalnya, saat seorang jurnalis menulis berita mengenai dana pemerintah, jusrnalis dapat memasukkan data ke spreatsheet dan komputer akan otomatis menghitung hasil-hasil total dananya.
Data base dan jaringan tekoneksi sungguh tidak ternilai bagi seorang wartawan. Semua bentuk dokumen, informasi terbaru dapat ditemukan dengan mudah. Ini mengubah tugas jurnalis di era digital. Dari pada mencari informasi yang tertutup, kini adalah menyeleksi informasi paling berharga dan penting.
Mengambil bagian dalam milis diskusi adalah salah satu cara terbaik untuk tetap mendapatkan informasi mengenai berita-berita dan mengupdate diri dengan mudah. Melalui email, situs pribadi seperti blog, dapat menjadi sumber yang baik. Setiap orang adalah seorang jurnalis di era digital.
Tantangan Nyata Bagi Jurnalis
Jurnalis era digital harus menjadi seorang spesialis yang mengetahui bagaimana mencari informasi di web dan menjadikannya berita. Pembaca tidak mempunyai training dan kemampuan untuk ini. Kesempatan emas online, kata Katherine Fulton, adalah menemukan jalan untuk memberikan informasi kepada orang-orang secara mendalam dan efektif.
Pertanyaannya adalah apakah orang masih akan berpaling kepada jurnalis atau seseorang yang lain dalam 10-20 tahun lagi, saat mereka membutuhkan filter informasi yang lebih baik. Jurnalis, yang telah kehilangan demikian banyak otoritasnya dan sikapnya dalam kebudayaan kita, akan kembali mencari haknya dalam dua bidang ini.
Pada level paling sederhana, mengumpulkan berita terdiri atas tiga tahap: mendapatkan ide; menemukan informasi; menulis beritanya. Menggunakan internet untuk pelaporan membantu jurnalis di era digital untuk melokalisir dan mengumpulkan informasi. Menyeleksi, verifikasi, dan menulis masih tetap menjadi hal personal dan kreatif, dan itu membutuhkan training, pengetahuan dan pengalaman.
Baca Selengkapnya.....

Pertemuan II: Journalisme di Era Digital

0 komentar
Situasi di Indonesia
Di Indonesia, di tahun 2009 sudah 25 juta penduduk menggunakan internet, dan jumlahnya akan terus bertambah. Angka ini mencapai sekitar10% dari total jumlah penduduk saat ini (237 juta).

Surat kabar cetak di Indonesia sudah mulai memiliki edisi online sejak akhir 90-an. Tampilan surat kabar online di internet yang pertama di Indonesia dirintis oleh Harian Republika dengan terbitnya RepublikaOnline.Com edisi internet koran itu pada tahun 1995. Beberapa artikel utamanya ditampilkan di situs web, yang dibaharui setiap hari sesuai periode terbit edisi cetaknya. Harian Kompas menyusul dengan menampilkan artikel-artikel pilihan secara online, yang mulanya diberi nama Kompas Online.Com, tetapi kemudian menjadi Kompas Cyber.com yang redaksinya dikelolah terpisah. Majalah Tempo yang dibredel rejim Suharto, muncul dengan edisi online yang diberi nama Tempo Interaktif. Beritanya dibaharui hampir setiap saat, tidak lagi mingguan sebagaimana edisi cetaknya. Munculnya situs berita online seperti Astaga!, BolehNet, Satunet, kemudian Detik.com semakin menambah daya tarik internet bagi pengusaha media di Indonesia.


Kecenderungan ini dirangkum oleh pernyataan surat kabar berbahasa Inggris di Jakarta, The Jakarta Post:
“Going online has become a necessity for businesses, the media in particular, expecting to progress to the next millennium. Recent development in Indonesia shows that the Web is the future of news and information as evidenced by the increasing number of media publications available over the Internet”.
Selanjutnya ditegaskan,
“As the largest English newspaper in Indonesia, The Jakarta Post has anticipated this trend and has dedicated a considerable amount of time and resources to preparing its website. We are proud to announce that the online version of our newspaper is now vailable on the Web.”
Sekarang, hampir semua surat kabar sudah memiliki edisi online, termasuk surat kabar lokal di daerah-daerah. Beberapa kelompok koran besar bahkan memiliki edisi terpisah serta sejumlah besar media berita murni berbasis internet (tidak ada edisi cetak), semuanya disajikan dalam tampilan menarik di internet. Bagi media, nternet adalah masa depan bagi jurnalisme. Apalagi, Internet bukan lagi untuk para ahli semata, tetapi juga bagi orang-orang biasa. Dan, terbukti Internet telah menjadi media yang fun, asyik dan mudah digunakan. Baca Selengkapnya.....

Pertemuan I : Fungsi Teori bagi Praktik Jurnalisme

1 komentar
Jika drama Shaksepeare, Romeo dan Juliet, terdiri dari 7 babak, jurnalisme memiliki 3: belajar, mempraktikkan, dan memenage. Setiap teori jurnalistik praktis harusnya menyangkut tiga hal ini, dan harus benar-benar berdasar pada kebutuhan jurnalisme, bukannya untuk kepentingan ilmu lain. Pada kuliah pengantar ini, kita akan mengulas beberapa teori jurnalistik praktis, yang menyatukan study mengenai dan praktik dalam jurnalisme penyiaran dan cetakan, bahkan sekarang mesti lebih luas lagi, karena sekarang kita benar-benar berada di era digital, di mana seluruh proses jurnalistik telah berubah. Mengumpulkan dan mengirimkan berita, kini semuanya digital. Seluruh proses di ruang berita tampaknya sudah serba digital juga.

Jurnalisme adalah segala sesuatu tentang berita dan informasi. Jurnalisme mencari berita dan melaporkannya. Jurnalisme adalah soal mengumpulkan fakta-fakta, memutuskan bagaimana meramunya, dan membuat keputusan penting, fakta-fakta mana yang diambil dan mana yang diabaikan. Jurnalistik adalah soal berbicara dengan orang-orang, rasa ingin tahu, berpikir jernih, dan mampu menerjemahkan gagasan-gagasan rumit menjadi sederhana, sehingga semua orang dapat memahaminya. Jurnalisme juga adalah soal menganalisa dan menginterpretasi peristiwa demi peristiwa; memahami bagaimana pemerintahan, politik, bisnis, industri dan masyarakat modern dijalankan.; dan mampu membuat cerita (stories) menarik mengenai semua peristiwa yang terkait dengan itu. Oleh karena itu, jurnalistik mengandung keterampilan-keterampilan praktis dan dasar-dasar intelektual yang luas, yang memberikan kredibilitas untuk melaporkan. Namun, demikian Jurnalisme berbeda dengan disiplin lain karena disiplin jurnalistik dibangun dari integrasi antara praktis dan teoritis. Teori selalu dalam hubungan dengan keterampilan praktis. Hukum dan etika, misalnya, tidak memisahkana entitasnya sejauh yang berlaku bagi jurnalisme: teori dimasukan ke setiap proses mengumpulkan, melaporkan dan mengkomunikasikan serta menyatu dengan keterampilan-keterampilan praktis. Setiap teori jurnalisme, yang berciri intelektual itu, melebur dan tidak terpisahkan dari keterampilan jurnalisme.

Sebuah teori yang praktis akan membantu jurnalisme memperluas pemahaman, menguji beragam teori, dan menerapkan sebagai solusi bagi masalah-masalah dalam proses pengumpulan dan pelaporan berita, dan pada saat yang sama mengembangkan keterampilan-keterampilan kreatif. Bagi jurnalis, kemampuan ini juga membantu meningkatkan keterampilan-keterampilan yang dapat berguna sepanjang hidup, bukan hanya dalam jurnalisme. Hal-hal ini menyangkut kemampuan komunikasi, semangat, kepercayaan diri, kepemimpinan, kerjasama dan kerja tim, kebebasan, otonomi dan kemampuan menilai diri sendiri. Jurnalis juga membutuhkan keterampilan interpersonal untuk mempengaruhi orang lain, mendengarkan dan bernegosiasi; keterampilan mengelola waktu dan project, mengatasi masalah, dan tentu saja Teknologi Informasi. Tapi sekali lagi, tidak ada yang berdiri sendiri, ini semua menjadi bagian dari teori paktis.

Paling tidak ada 8 fungsi utama sebuah teori praktis bagi jurnalisme:

1. Kemampuan memahami apa yang membuat sebuah cerita menarik; menemukan angle terbaik, menyampaikan dengan menarik dan dengan antusias kepada pembaca, pendengar dan pemirsa.
2. Bepengalaman menggunakan beragam teori yang terkait dengan mengumpul, menulis dan melaporkan berita.
3. Pemahaman kritis mengenai jurnalisme melalui pendekatan sarat informasi, analistis, dan kreatif untuk praktik professional
4. Keterampilan yang bisa ditularkan melalui penulisan, aktivitas interpersonal dan verbal dalam kerangka teoritis dan praktis.
5. Kemampuan analisis rasional dan berargumen
6. Pemahaman terhadap semakin rumit dan canggihnya kemajuan-kemajuan teknologi di dalam profesi jurnalisme.
7. Adanya kepekaaan social terhadap jurnalisme, dan tanggung jawab etis pribadi
8. Adanya awarness terhadap teknologi terbaru, seperti teknologi computer untuk ruang berita dan satelit komunikasi.

Wartawan Siaran dan Cetak harus memiliki kemampuan:

a. Memahami kosakata dasar berita dan jurnalisme
b. Memahami teori-teori penting dalam kajian jurnalisme
c. Mencari informasi dari beragam sumber tercetak maupun elektronik
d. Menggunakan informasi, konsep dan teori untuk menformulasi argument
e. Menganalisa masalah dan menformulasikan tanggapan terhadapnya
f. Menyediakan informasi dan argument secara oral, dan mahir berdiskusi dengan orang lain.
g. Menciptakan informasi dan argument seperti tulisan, cerita yang menarik dan akurat.
h. Bekerja secara tim
i. Memiliki kemampuan praktis dalam menulis dan melaporkan
j. Memiliki pengetahuan mengenai implikasi hukum dan etika dari berita
k. Mengetahui tekonologi terbaru dan pelaporan system computer
l. Menggunakan teknik-teknik terbaru dalam mengedit dan memproduksi untuk menghasilkan halaman dan layout atau program yang menyenangkan dan menarik.
m. Mengapresiasi beragam isu metodologi dan masalah-masalah dalam jurnalisme
n. Memahami teori-teori terbaru dan pendekatan-pendekatan teoritis terhadap praktik jurnalisme.
o. Membaca dan memahami penilaian kritis terbaru terhadap jurnalisme
p. Melaporkan dalam wilayah spesifik sampai yang paling umum dalam bidang jurnalisme.


Karena itu teori dan praktik jurnalisme harusnya menyediakan:

1. Cukupan yang luas mengengai pengetahuan-pengetahuan dasar jurnalisme
2. Kemampuan professional dalam pelaporan dan penulisan
3. Kemandirian berpikir dan kepekaan penilaian.

Pentingnya kemampuna intelektual - karenanya teoritis- bagi jurnalis mencakup bidang yang luas. Pengetahuan mengenai masyarakat di mana mereka hidup dan bekerja, ekonomi, politik, sosiologi, sejarah, hubugan internasional, dst. memerlukan pondasi yang layak dalam keterampilan professional.

Masih ada beragam hal-hal khusus di bidang penyiaran misalnya: self-motivation, kemampuan jurnalistik, dedikasi, news judgement, panampilan on-air, kepribadian, kualitas suara, penampilan fisik, pengalaman siaran, dan kwalitas audition tape. Baca Selengkapnya.....

Mata Kuliah Dasar-Dasar Jurnalisme

2 komentar
M
ata kuliah ini akan membahas teori dan praktek mencari berita, pengautan informasi dan data, profesi jurnalisme, teknik pendalaman  dan pengembangan berita (in-depth news), serta aspek bahasa dan etika jurnalistik untuk media cetak, media siaran dan internet. Bahan dasar kita adalah Buku Journalism in The Digital Age: Theory and Practice for Broadcast, Print and On-line Media, karya John Herbert. Dan buku Digitizing  the News: Innovation in Online Newspapers, karya Pablo Boczkowski.
Baca Selengkapnya.....

wellcome notes

0 komentar
Komiu Nipotoveku. Dengan riang hati saya menyambut setiap kunjungan Anda, di sini. Dengan riang pula saya bekerja, siang dan malam, menyiapkan bahan-bahan terbaik yang dapat saya dapatkan, lantas saya racik dan sajikan kepada setiap Anda. Laiknya, sebuah kampus, ruang ini terbuka, dalam arti terbuka untuk siapa saja, gagasan apa saja, dan kritikan apa saja. Di sini Anda tentu saja tidak bakal puas dengan hanya menikmati sekilas, menyerubut apa yang tersaji, sebelum Anda benar-benar terlibat dalam interaksi yang hangat dan antusias dengan para tetamu sebelum dan sesudah Anda. Anda juga tentu ingan dikenang, dan karenanya merasa perlu meninggalkan jejak yang pantas untuk itu. Dari pihak saya, penjaga rumah, sekaligus pelayan bagi semua, satu-satunya alasan tetap di sini menyambut dengan hati riang, adalah karena Komiu Nipotoveku, Saya Mengasihi Anda. Anda tahu mengapa? Ya, karena kita sesunggunya bersaudara, Sampesuvu!

Wassalam Baca Selengkapnya.....
 
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by Pius Sujarno | Midified by Arek Palopo