Bertanya dan Profesi Journalisme

Jurnalisme, galibnya, adalah sebuah profesi sederhana. Sesederhana mengajukan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan –entah soal orang, soal peristiwa – menghasilkan fakta-fakta, dan fakta-fakta itulah yang membentuk berita. Tanpa fakta-fakta, tidak ada berita. Dengan demikian, profesi jurnalisme itu, pada akhirnya, difokuskan pada mengetahui pertanyaan tepat, mampu mengajukan pertanyaan itu,sejelas dan seterbuka mungkin, dan mampu menyampaikan dengan cara yang paling menarik, krearif dan mengerakkan.
Untuk mengajukan pertanyaan semacam itu, profesi ini membutuhkan banyak pengetahuan dan keterampilan, dan mengajukan pertanyaan itulah, entah di bawah tekanan atau tidak, yang membela kebebasan kita. Jurnalismen dapat kita katakan, sebagai puncak ekspresi demokrasi dan kebebasan itu. Rejim pemerintah dan para politikus sungguh memahami ini, dan secara terus menerus berupaya melawan kebebasan sepenuhnya bagi Jurnalisme, dan ini kadang-kadang berakibat buruk khususnya bagi jurnalisme penyiaran. Hubungan antara jurnalisme dan demokrasi sesungguhnya amat kompleks. Bagaimana dan pada taraf mana media berita memberi sumbangan bagi praktik dan struktur demokrasi? Dan bagaimana proses demokrasi itu memperkaya berita setiap saat, institusinya sendiri dan praktik serta rutinitasnya?
Berita sesungguhnya sesuatu yang hidup, terus berubah, tampil pada setiap saat hanya sebagai tangkapa sekilas atas realita. Karean alasan ini, jurnalisme sering disebatu sebagai ”the first draft of history” (draf pertama sejarah). Tentu saja, defenisi ini, agak gampang dimengerti dalam konteks jurnalis cetak tetapi sebaliknya agak sulit bagi para jurnalis siaran. Bila di media cetak tersedia waktu relatif banyak memikirkan ulang fakta-fakta sebelum dipublikasi, di media siaran tidak banyak waktu untuk itu. Jurnalisme siaran sangat tergantung pada silih bergantinya peristiwa yang tidak terkontrol, yang dalam dirinya sendiri membuat berita, jam demi jam, hari demi hari.
Buku Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, menjadi bahan literatur teoritis yang berupaya menempatkan jurnalisme –pertanyaan demokratis pada posisi layak dalam hubungan-hubungan publik. Pada demokrasi yang sesungguhnYa, setiap orang mempunyai hak untuk tahu, dan untuk berdiskusi mengenai apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Tentu saja wakil-wakil mereka di parlemen mungkin mencoba untuk membatasi hak demikan. Banyak hal yang ingin diketahui publik diupayakan tidak serta-merta dipublikasi. Itulah yang terjadi pada di masa ORLA dan ORBA di Indonesia bahkan di jaman Reformasi sekarang. Yang terbaru peliputan penggerebekan teroris di Tulung Agung dengan siaran langsung beberapa TV dianggap kebablasan. Dan pada penggerebekan sesudahnya, publik hanya diberitahu setelah prosesnya selesai. Alasannya, bisa mengganggu proses kerja Kepolisian dan serta potensi meloloskan diri para tersangka. Namun, para ahli sepakat bahwa pembatasan itu kadang-kadang perlu untuk menghindari tindak kekerasan dan ketidakadilan.

Baca Juga Tulisan Ini :



0 komentar:

Post a Comment

beloved visitors, terima kasih atas kunjungan Anda
tinggalkan pesan bila Anda berkenan

 
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by Pius Sujarno | Midified by Arek Palopo