Kisah Asmara Sang Insinyur dan Satelit Palapa

Artikel Lepas

Pada tahun 1976 Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik dengan menggunakan Satelit GSO, yakni sistem Palapa. Palapa inilah yang kelak menjadi nama paten bagi sejumlah satelit telekomunikasi geostasioner Indonesia. Nama ini diambil dari "Sumpah Palapa", yang pernah dicetuskan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit pada tahun 1334. Satelit pertama (Palapa A) diluncurkan pada tanggal 8 Juli 1976 oleh roket Amerika Serikat dan dilepas di atas Samudera Hindia pada 83° BT.

Pada awalnya, Palapa didesain untuk komunikasi domestik karena sistem satelit itu memang ditujukan untuk mempersatukan Indonesia. Sistem satelit ini memberikan layanan teleponi dan faksimil antarkota di Indonesia dan juga menjadi infrastruktur utama pendistribusian program televisi. Kini kita memiliki sejumlah satelit yang mencakup seluruh kepulauan Indonesia.
Di balik proyek awal Satelit Palapa, yang merupakan titik awal bangsa kita mengenal teknologi komunikasi dan berhubungan dengan dunia, ternyata terdapat kisah-kisah romantika dan nilai sejarah terselubung yang dialami seorang insinyur yang turut berjasa - bersama sejumlah rekannya dari Indonesia dan Negara-negara lain - membangun system teknologi luar biasa itu di Indonesia.
Tepat setahun sebelum peristiwa peluncuran yang bersejarah itu, Walter Peterson, seorang insinyur muda kelahiran Jerman dari Amerika Serikat tiba di Indonesia. Ia bersama timnya mendapat tugas dari perusahannya untuk mengerjakan proyek Satelit Palapa dan awal berfungsinya Sistem Telekomunikasi Satelit Indonesia.
Walter cs melakukan tugas mereka dalam dua tahap. Yang pertama adalah menemukan titik untuk pembangunan stasiun darat bagi satelit Palapa. Dengan susah payah karena medan berat ditambah alat seadanya, timnya bekerjasama dengan rekan-rekan Indonesianya sukses membangun stasiun pengendali utama di daerah sekitar Bogor (Cibinong). Kisah sukses itu berlanjut hingga paling tidak 40 stasiun berhasil mereka bangun di berbagai daerah di nusantara. Pada tahap selanjutnya, Walter sendiri bertugas melakukan pemeriksaan dan perbaikan bila terjadi sesuatu masalah dalam pengoperasian. Untuk itu ia harus melakukan perjalanan mengunjungi semua stasiun yang ada di Indonesia, mulai dari pulau Jawa, Samatera, Batam, Kalimantan, Ujungpandang (termasuk liburan ke Toraja), Manado, Ambo, Merauke, Sorong, hingga Fak Fak (Papua).
Sebagai orang asing, dengan bahasa Indonesia seadanya, Walter Peterson berjumpa dengan budaya asing dari sebuah negeri kepulauan yang eksotik bagiakan taman firdaus bernama Indonesia. Ia terutama senang berjumpa dengan gadis-gadis Indonesia yang ramah, cantik, dan penuh pelayanan. Selama masa 1974-1978 di Indonesia, ia mengambarkan dirinya, seorang petualang cinta sejati.


Di tiap tempat yang dia datangi, ia pasti menemukan wanita-wanita cantik dan ramah yang siap menjadi pendamping selama kunjungannya. Ia bahkan dengan fasih berkisah tentang sejarah atau cerita legenda soal tempat-tempat terkenal di Indonesia. Ia juga jeli mengamati dan mencatat perilaku masyarakat. Tetapi, di pedalaman Papua lah, di Sorong ia berjumpa dengan Nelly, gadis hitam manis yang menjadi cinta sejatinya. “Sewaktu melihat gadis ini, untuk pertama kali, aku benar-benar terpukau,aku berdiri di sana seakan-akan terpaku. Tetapi segera mengetahui bahwa aku mesti berkenalan dengan gadis ini.” Nelly bukanlah satu-satunya wanita yang dikenal dan dicintainya, masih banyak yang lain yang memberinya “hadiah senyuman manis dan mesra.”
Sayangnya, petualangan cintanya tidak berakhir indah. Monica, istrinya yang sudah mengaruniakan dua putra, Peter dan Michael, akhirnya meminta bercerai.
Nelly pun, pada situasi yang disesalinya, akhirnya berpisah darinya. Kelak ia menghabiskan waktunya untuk mencari, dan menemukan Nelly. Namun, ia harus menyesali seumur hidupnya, karena Nelly ternyata telah diboyong seorang Jerman lain ke negaranya.


Kecintaannya pada dunia kepulauan yang sangat memesonakan ini, ditambah kenangan akan kolega yang bekerja dengannya selama kurun waktu di Indonesia, berikut semua wanita yang manis dan baik hati, mendorongnya mengisahkan kembali dalam memoarnya berjudul; Die Strasse nach Bogor: Erfahrungsbericht eines Mannes in Indonesia yang kini sudah dapat dinikmati terjemanhan Indonesianya: Jalan Ke Bogor: Palapa dan Wanita Papua, Risalah tentang Pengalaman Seorang Laki-laki di Indonesia karya Klaus G. Johannsen.
Buku ini layak dan pantas dibaca generasi muda Indonesia. Inilah kisah nyata perjalanan hidup Walter Peterson, seorang yang keluar dari negeri asing datang ke Indonesia untuk bekerja dengan kondisi Indonesia di era 70-an yang ekstrem dan penuh tantangan, tetapi ia berhasil menyelesaikan pekerjaan itu dengan caranya yang unik dan mengajarkan kita bagaimana cintanya pada negeri ini tumbuh. Sebuah negeri indah yang kelak hanya, seperti katanya, “hanya bisa ku impikan”.

Kredit foto:


www.boeing.com/.../376/palapa_a/palapa_a.html

Baca Juga Tulisan Ini :



0 komentar:

Post a Comment

beloved visitors, terima kasih atas kunjungan Anda
tinggalkan pesan bila Anda berkenan

 
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by Pius Sujarno | Midified by Arek Palopo