Akankah media jejaring sosial bakal menjadi kekuatan demokrasi baru mengimbangi negara dan media? Itulah pertanyaan utama penelitian Henri Subiakto dalam disertasi bertajuk "Kontestasi Wacana Tentang Sistem Penyiaran yang Demokratis Pasca-Orde Baru: Analisis Konstruksi Sosial Relasi Negara, Industri, Penyiaran, dan Civil Society". Dalam thesis doktoralnya, Staf ahli Menkominfo bidang media massa, Dr Drs Henri Subiakto, SH, MA, berpendapat bahwa "facebookers" (pengguna laman jejaring sosial, Facebook) mampu mengimbangi negara dan pemilik media. Mahasiswa komunikasi patut menyimak ini.
"Karena itu, jangan takut media massa akan dikendalikan negara atau pemilik media, karena facebookers mampu mendorong publik menjadi kuat," kata Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Perum LKBN ANTARA itu di Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan hal itu dalam ujian terbuka doktor di Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
dengan promotor Prof Ramlan Surbakti, PhD (mantan wakil ketua KPU), dan akhirnya dinyatakan lulus dengan predikat "Sangat Memuaskan".
Ujian terbuka itu dihadiri sejumlah kolega, di antaranya Prof Sasa Djuarsa Sendjaja, PhD (Ketua KPI/UI), Freddy Tulung (Kepala Badan Informasi Publik Kemenkominfo), Dr Ishadi SK, MSc (Presdir Trans-TV), Asro Kamal Rokan ( anggota Dewas Perum LKBN ANTARA), dan Dr Ahmad Mukhlis Yusuf (Dirut Perum LKBN ANTARA).
Menurut doktor ke-1.172 di Unair yang pernah menjadi agen dan loper koran itu, konsentrasi kepemilikan media massa itu tidak perlu dikhawatirkan, karena "facebookers" akan menjadi penyeimbang opini yang tidak objektif.
"Apalagi, kosentrasi media itu sendiri merupakan keniscayaan sejarah, sebab teknologi informasi yang berkembang mendorong konvergensi media, sehingga televisi, radio, dan koran menjadi tidak jelas," paparnya.
Selain itu, kata pria kelahiran Yogyakarta pada tanggal 29 Maret 1963 itu, pemilik media massa tidak perlu dikhawatirkan akan mengendalikan opini yang berkembang, karena kontrol pemodal terhadap media massa itu tidak ada yang sempurna.
"Pak Harto adalah buktinya, bahkan detik-detik menjelang reformasi tahun 1998 justru menunjukkan sejumlah stasiun televisi milik anak-anak Pak Harto bersaing menayangkan aksi unjuk rasa dimana-mana," tuturnya.
Bahkan, kata alumnus S1 Ilmu Komunikasi UGM dan Hukum UII Yogyakarta yang menjadi dosen komunikasi di Unair Surabaya sejak tahun 1988 itu, "rating" (tingkat besar-kecilnya khalayak yang menikmati program) merupakan kontrol yang sebenarnya, karena "rating" itulah yang justru mengendalikan pemilik media massa.
Jawaban itu membuat alumni Magister (S2) Ilmu Komunikasi di UI itu dicecar dengan pertanyaan tentang "rating" oleh tiga guru besar yakni Prof Ramlan Surbakti (promotor), Prof Dedy N. Hidayat (ko-promotor), dan Prof Sasa Djuarsa Sendjaja.
Ketiga guru besar Ilmu Sosial itu mempertanyakan peran "rating" dalam mewakili kepentingan khalayak dan kemungkinan "rating" justru merupakan rekayasa pebisnis untuk mempengaruhi opini masyarakat.
"Pemilik modal itu hanya mampu mengendalikan aset media massa dan tidak akan mampu mengontrol isi (konten), tapi pemerintah juga perlu memperkuat lembaga pelayanan publik (LPP) seperti TVRI dan RRI untuk mengimbau opini yang merugikan publik," ujarnya menjelaskan.
Tentang konten dalam kaitannya dengan "rating" itu juga disoroti Prof Dedy. "Saya kira, rating itu rekayasa industri untuk membentuk keinginan masyarakat, misalnya, sinetron yang merupakan selera ciptaan industri media massa," katanya.
Menanggapi hal itu, Henri Subiakto yang pernah menjadi Direktur Media Watch (Lembaga Konsumen Media) dan Ombudsman Jawa Pos Grup itu menegaskan bahwa rating dan selera publik itu ibarat perdebatan tentang ayam dan telur.
"Mana dulu, ayam atau telur, saya kira hal itu saling berhubungan, berkaitan, dan membutuhkan. Begitulah, apakah rating atau selera publik yang harus dipilih, saya kira keduanya saling mendukung," katanya menegaskan.
Dalam disertasi bertajuk "Kontestasi Wacana Tentang Sistem Penyiaran yang Demokratis Pasca-Orde Baru: Analisis Konstruksi Sosial Relasi Negara, Industri, Penyiaran, dan Civil Society" itu, Henri menyinggung adanya kooptasi industri terhadap pemerintah dalam pembuatan regulasi.
"Ada kooptasi industri terhadap negara, karena saya menyaksikan sendiri regulasi tentang penyiaran yang diintervensi industri. Kalau hal itu dibiarkan maka regulasi kita akan rusak," papar penerima sejumlah program beasiswa dari Amerika, Australia, dan Korea Selatan itu.(*)
Sumber: